Perkembangan pesat teknologi informasi komunikasi saat ini yang berdampak pada munculnya prosumerism dan produsage mendorong masyarakat digital menjadi kreatif. Saat ini khalayak sudah tidak lagi menjadi objek industri, melainkan juga dapat berkreasi dan membuat konten di internet. Kehadiran internet dan web 2.0 juga membuat akses terhadap konten di media lebih mudah dan meluas secara cuma-cuma. Namun ternyata kemudahan dalam mengakses dan membuat konten di internet menimbulkan sebuah permasalahan yang masih diperdebatkan sampai saat ini. Ya, lagi-lagi mengenai hak cipta.
Di era digital saat ini kita mungkin sudah terbiasa dalam membuat sebuah karya dan menguploadnya ke internet. Karya yang kita buat mungkin merupakan sebuah kompilasi dari beberapa konten yang memang kita dapatkan pula dari internet. Lalu, kita juga sangat terbiasa dengan kemudahan dalam mendownload segala sesuatu dari internet secara gratis dan tanpa melibatkan perizinan. Seperti contoh kemudahan dalam mendownload file musik, membuat video lipsyng di YouTube, meng-upload rekaman konser ke internet, jual beli software di laman non-resmi, dan sebagainya. Nah hal inilah yang ternyata mendapat protes dari beberapa pihak, terutama industri.
Memang, perizinan dan penyensoran untuk membuka dan menshare konten di internet dirasa penting dilakukan, lebih bagus lagi jika dibuatkan sebuah regulasi agar khalayak bisa lebih taat menggunakan internet. Hal ini memang sudah diramalkan jauh-jauh hari sebelum internet begitu populer saat ini, contohnya pada 1996 dibuatnya WIPO Copyright Treaty yang disahkankan oleh United Nations World Intellectual Property Organization. Dimana perjanjian ini merumuskan standar dasar perlindungan hak kekayaan intelektual di setiap negara. Selain itu juga dibuatnya Digital Right Management sebagai copy protection untuk perangkat lunak komputer dalam mencegah terjadinya copying oleh pembeli yang tidak sah. Namun hal ini gagal karena tidak populer secara komersial dan tidak efektif karena pembajakan terus terjadi.
Pada tahun 2012 lalu masyarakat Amerika Serikat sempat dihebohkan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang SOPA (Stop Online Privacy Act) - PIPA (Protect IP Act) yang akan mengubah sistem tatanan internet dunia. Undang-Undang ini berencana untuk memberikan hak cipta untuk video, musik, software, dan semua produk digital, serta hak untuk menindak langsung orang atau situs yang terduga melanggar hak cipta. Selain itu pada 2007 juga sempat digodok kesepakatan internasional berupa ACTA oleh sejumlah negara yaitu, AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, Meksiko, Yordania, Maroko, UEA, Kanada, dan Singapura. ACTA merupakan kependekan dari Anti Counterfeiting Trade Agreement yang berisi kesepakatan prulilateral untuk menetapkan standar internasional penegakan hukum tentang kekayaan intelektual, termasuk juga mengatur tentang distribusi internet dan teknologi informasi. Lalu mengapa semua regulasi ini dikecam dan ditolak oleh banyak masyarakat dunia padahal niatnya baik untuk mengatasi pembajakan.Ternyata banyak pihak menentang dengan adanya kesepakatan internasional tersebut (ACTA). Masalah utama dari kesepakatan ini adalah ternyata negosiasi dan pembuatan peraturan ini dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Banyak elit industri yang berkuasa dan memegang peranan dalam pembuatan keputusan. Disini terlihat bahwa tujuan utama dari perjanjian ini adalah memaksa negara-negara anggota tersebut menerapkan kebijakan anti file-sharing dalam bentuk three-strikes scemes dan praktik penyaringan sapu bersih. Skema "three-strikes" yang dimaksud adalah Internet Service Provider (ISP) akan memutus akses internet kepada pelanggannya yang telah menerima tiga kali surat peringatan atas pelanggaran hak cipta. Secara singkat ACTA akan mematikan para creator kecil dalam membuat konten di internet dan memonopoli industri yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Nantinya keuntungan yang didapatkan oleh industri raksasa akan sangat melimpah dan perkembangan bagi industri kecil akan ditutup secara besar-besaran.
Dengan dibatalkannya berbagai regulasi internasional mengenai copy right di internet, kita sebagai pengguna internet harus tetap bijak dalam memanfaatkan internet. Sebagai konsumen kita harus membeli segala sesuatu di internet secara sah dan resmi bila itu menguntungkan negara Indonesia kita. Contoh yang dapat kita lihat adalah di situs streaming dan download film lk21, dimana pada situs tersebut film-film dari luar negeri bebas kita dapatkan dan download secara gratis, namun film jika kita ingin mendownload film Indonesia, maka situs tersebut akan tersambung pada website bioskop. Hal ini untuk mendorong penonton untuk hanya menonton film Indonesia di bioskop agar mendukung kemajuan film Indonesia.
Referensi:
Doctorow, C. 2012. Lockdown: The Coming War on General-Purpose Computing. http://boingboing.net/2012/01/lockdown.html
http://www.lingkarmerah.com/2012/01/apa-itu-sopa-dan-pipa.html. diakses tanggal 5 Mei 2017
http://tekno.kompas/read/2012/01/18/17193670/Kompak.Tolak.SOPA.10.Situs.Tutup.Bersama
http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2008/october/tradoc_140836.11.08.pdf
Hi Ilham!
ReplyDeleteSebelumnya, dari berbagai penjelasan mengenai peraturan internasional, apakah Ilham mengetahui tentang sejauh mana peran pemerintah indonesia terhadap permasalahan hak cipta? Tapi tidak terlepas dari itu, saya setuju pada paragraf terakhir Anda, bagaimana pun pengguna yang paling berkuasa atas pemanfaatan internet tersebut. Dan saya rasa, lk21 cukup mendukung persoalan HAKI di Indonesia. Namun, lagi-lagi pengguna bisa melakukan banyak cara untuk memperolehnya, seperti mencari situs lain, atau mengcopy file dari teman, dan lain sebagainya.
Thx, Ham.
Anyway, such a great post ! ;)