Penerapan Free-flowing Digital Content dan Locked Appliances dalam proses Industri Kreatif Penyiaran dan/atau Media Penyiaran (Ilham Darussalam - 1506686085)
Abad milenium saat ini telah banyak merubah sendi-sendi
kehidupan manusia, khususnya akibat perkembangan teknologi yang membuat banyak
perubahan pada kehidupan sosial-budaya di masyarakat. Salah satu yang sangat mengalami
perubahan drastis bagi perilaku manusia saat ini adalah dengan hadirnya gadget.
Manusia modern saat ini serasa sudah diperbudak oleh satu benda kecil
multifungsi bernama smartphone. Bayangkan saja, dari bangun tidur sampai mau tidur kembali saat ini manusia pasti akan sibuk dengan smartphone-nya. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran gadget saat ini memang untuk membantu segala aktivitas kehidupan dan pekerjaan manusia dengan berbagai fitur dan kemampuan yang dimiliki oleh smartphone/gadget tersebut. Hal ini berkat adanya Proliferasi Saluran dan Portabilitas Komputasi dan telekomunikasi teknologi baru sehingga manusia memasuki era dimana media ada di mana-mana dan manusia menggunakan semua jenis media dalam hubungan satu sama lain. Konvergensi media sudah saya jelaskan beberapa minggu lalu dan kaitannya dengan gadget.
Konvergensi Media pada dasarnya bukan hanya sekadar pergeseran teknologi semata. Namun konvergensi melihat dan mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan penonton. Dengan konvergensi hal tersebut dapat menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan bermakna. Dengan artian bahwa konvergensi merupakan aliran konten di platform beberapa media, kerjasama antara industri beberapa media, dan perilaku migrasi khalayak media, dapat mengarah bahwa konvergensi adalah sebuah proses tanpa henti dan bukanlah sebuah titik akhir dari teknologi.
Berkaitan dengan konvergensi media, saat ini terdapat 2 bentuk lingkungan media. Pertama, teknologi media baru yang memungkinkan terjadinya penghematan produksi dan distribusi. Hal ini sangat berkaitan dengan konvergensi media, dimana hadirnya media baru dan internet membuat kita menjadi seorang prosumer (produsen sekaligus consumer). Sangat mudah sekali untuk membuat konten dan menyiarkannya tanpa perlu mahal-mahal membeli/menggunakan teknologi yang biasa dipakai media penyiaran seperti pemancar terestrial, satelit, kamera elektronika, sound system, telecine, sub master control, OB-Van, Studio, dan sebagainya. Masyarakat sipil bisa sangat mudah membuat-mengedit-mendistribusikan hanya dengan satu perangkat saja, yaitu gadget. Selain penghematan biaya produksi dan distribusi, prosumer dapat dengan mudah mengakses secara bebas bahkan mengubah data & informasi untuk kepentingannya sendiri, contoh: vlog. Hal tersebut berkaitan dengan Free-flowing Digital Content. Free-flowing Digital Content berarti prosumer dapat dengan bebas mangatur/mendapatkan konten di media. Jika dikaitkan dengan kemudahan produksi dan distribusi , maka Free-flowing Digital Content lebih mengarah pada teknologi android. Android menyediakan konten yang bebas dan konsumen dapat mengutak-atik sendiri software dan sebagainya, berbeda dengan apple, dimana pembatasan dalam segala aplikasi dan software karena regulasi dan hak cipta yang ketat. Nah, jika kembali lagi pada contoh Free-flowing Digital Content pada media penyiaran mainstream, terdapat contoh yang relevan yaitu prinsip free-to-air yaitu kita dapat bebas menikmati siaran televisi analog. Berbanding terbalik dengan pay-tv dimana kita dibatasi dalam mengonsumsi tayangan tv karena hanya yang berlangganan saja yang dapat menikmatinya (Locked Appliances).
Bentuk lingkungan media yang kedua adalah, terjadinya pemusatan media pada satu korporasi yang mendominasi segala sektor hiburan dan cenderung menjadi kiblat bagi media lain sebagai patokannya. Kita bisa lihat dan saksikan sendiri di Indonesia, konglomerasi media menjadi hal yang lumrah. Satu pemilik modal bisa mempunyai berbagai macam media dan sangat kuat dalam mempengaruhi opini publik. Untuk topik konglomerasi media akan saya bahas lebih lengkap nanti.
Referensi:
Jenkins, Henry. 2004. Review The Cultural Logic of Media Convergence. London: SAGE Publication.
Zittrain, Jonathan. 2008. The Future of The Internet and How to Stop It. Virginia: Yale University Press.
Konvergensi Media pada dasarnya bukan hanya sekadar pergeseran teknologi semata. Namun konvergensi melihat dan mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan penonton. Dengan konvergensi hal tersebut dapat menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan bermakna. Dengan artian bahwa konvergensi merupakan aliran konten di platform beberapa media, kerjasama antara industri beberapa media, dan perilaku migrasi khalayak media, dapat mengarah bahwa konvergensi adalah sebuah proses tanpa henti dan bukanlah sebuah titik akhir dari teknologi.
Berkaitan dengan konvergensi media, saat ini terdapat 2 bentuk lingkungan media. Pertama, teknologi media baru yang memungkinkan terjadinya penghematan produksi dan distribusi. Hal ini sangat berkaitan dengan konvergensi media, dimana hadirnya media baru dan internet membuat kita menjadi seorang prosumer (produsen sekaligus consumer). Sangat mudah sekali untuk membuat konten dan menyiarkannya tanpa perlu mahal-mahal membeli/menggunakan teknologi yang biasa dipakai media penyiaran seperti pemancar terestrial, satelit, kamera elektronika, sound system, telecine, sub master control, OB-Van, Studio, dan sebagainya. Masyarakat sipil bisa sangat mudah membuat-mengedit-mendistribusikan hanya dengan satu perangkat saja, yaitu gadget. Selain penghematan biaya produksi dan distribusi, prosumer dapat dengan mudah mengakses secara bebas bahkan mengubah data & informasi untuk kepentingannya sendiri, contoh: vlog. Hal tersebut berkaitan dengan Free-flowing Digital Content. Free-flowing Digital Content berarti prosumer dapat dengan bebas mangatur/mendapatkan konten di media. Jika dikaitkan dengan kemudahan produksi dan distribusi , maka Free-flowing Digital Content lebih mengarah pada teknologi android. Android menyediakan konten yang bebas dan konsumen dapat mengutak-atik sendiri software dan sebagainya, berbeda dengan apple, dimana pembatasan dalam segala aplikasi dan software karena regulasi dan hak cipta yang ketat. Nah, jika kembali lagi pada contoh Free-flowing Digital Content pada media penyiaran mainstream, terdapat contoh yang relevan yaitu prinsip free-to-air yaitu kita dapat bebas menikmati siaran televisi analog. Berbanding terbalik dengan pay-tv dimana kita dibatasi dalam mengonsumsi tayangan tv karena hanya yang berlangganan saja yang dapat menikmatinya (Locked Appliances).
sumber gambar: www.kompasiana.com/gapey-sandy/ketika-jokowi-nge-vlog_58b91843947e613106581aa7 |
Bentuk lingkungan media yang kedua adalah, terjadinya pemusatan media pada satu korporasi yang mendominasi segala sektor hiburan dan cenderung menjadi kiblat bagi media lain sebagai patokannya. Kita bisa lihat dan saksikan sendiri di Indonesia, konglomerasi media menjadi hal yang lumrah. Satu pemilik modal bisa mempunyai berbagai macam media dan sangat kuat dalam mempengaruhi opini publik. Untuk topik konglomerasi media akan saya bahas lebih lengkap nanti.
Sumber gambar: ag-xin.blogspot.co.id/2016/02/ct-corp-anak-perusahaannya.html |
Jenkins, Henry. 2004. Review The Cultural Logic of Media Convergence. London: SAGE Publication.
Zittrain, Jonathan. 2008. The Future of The Internet and How to Stop It. Virginia: Yale University Press.
Comments
Post a Comment